Kamis, 11 April 2013

Filsafat

Setelah kebangkitan filsafat, sejarah, prosa dan rasionalisme pada akhir abad ke-5 SM, nasib mitos menjadi tidak jelas, dan silsilah mitologi memberi tempat pada pembentukan sejarah yang berusaha meniadakan unsur-unsur supranatural, misalnya sejarah yang dicatat oleh Thukydides.[71] Ketika para penyair dan penulis drama mengolah lagi mitologi, para sejarawan dan filsuf Yunani malah mulai mengkritik mitos.[6]
Beberapa filsuf radikal semacam Xenofanes dari Kolophon sudah mulai berani mengatakan bahwa kisah-kisah para penyair adalah kebohongan yang menghina tuhan, pada abad ke-6 SM. Xenofanes mengeluh bahwa Homeros dan Hesiodos memberi para dewa "semua sifa manusia yang memalukan dan tercela: para dewa mencuri, berzina, dan saling menipu satu sama lain".[72]
Pemikiran seperti itu muncul secara jelas dalam karya-karya Plato, yakni Republik and Hukum. Plato menciptakan mitos alegorinya sendiri, misalnya visi Er dalam Republik. Pemikirannya menentang kisah-kisah tradisional tentang para dewa serta tipuan, pencurian, dan perzinahan mereka. Menurutnya, tindakan para dewa adalah tidak bermoral. Plato memandang mitos sebagai "obrolan istri-istri tua".[73] Plato juga menolak peran sentral para dewa dalam sastra.[6] Kritik Plato merupakan tantangan serius pertama untuk tradisi mitologi Homeros.[70]
Sementara itu Aristoteles mengkritik pendekatan filosofis quasi-mitis pra-Sokrates dan menekankan bahwa "Hesiodos dan para penulis teologi hanya peduli terhadap apa yang tampak masuk akal bagi diri mereka sendiri dan tidak menghargai kita ... Tetapi tidak ada gnanya berbicara serius pada penulis yang pamer dengan menggunakan gaya mitis; sedangkan bagi mereka yang mampu melanjutkan dengan membuktikan pernyataan mereka, kita harus memerika mereka secara saksama".[71]
Namun demikian, bahkan Plato tidak dapat melepaskan dirinya dan masyarakatnya dari pengaruh mitos. Karakterisasi yang dia buat untuk Sokrates didasarkan pada pola-pola tragedi dan Homeros tradisional. Plato menggunakannya untuk menyanjung kehidupan mulia Sokrates, gurunya:[74]
Namun barangkalai seseorang mungkin berkata: "Tidakkah kamu merasa malu, Sokrates, karena telah mengejar tujuan semacam itu, sampai-sampai kau kini berada dalam ancaman kematian sebagai akibatnya?" Namun aku harus memberinya jawaban yang benar: "Anda tidak berbicara dengan baik, tuan, jika Anda berpikir bahwa seorang manusia yang memiliki bahkan sedikit saja kebaikan harus mempertimbangkan bahaya kehidupan atau kematian, dan bukannya berpikir, ketika dia melakukan sesuatu, apakah yang dia lakukan benar atau salah dan merupakan tindakan orang baik atau jahat. Karena berdasarkan argumen Anda, maka semua setengah dewa akan menjadi buruk di Troya, termasuk putra Thetis, yang begitu membenci bahaya, dibandingkan harus menanggung rasa malu, bahwa ketika ibunya (dan ibunya adalah seorang dewi) berkata padanya, ketika dia begitu ingin membunuh Hektor, sesuatu seperti ini, aku kira,
Putraku, jika kau membalaskan kematian sahabatmu Patroklos dan membunuh Hektor, maka kau juga akan segera meninggal; karena segera, setelah Hektor, kematian akan mengampirimu. (Homeros, Iliad, 18.96)
Dia, ketika mendengar itu, memandang remeh pada kematian dan bahaya, dan lebih takut untuk hidup sebagai seorang pengecut yang tidak membalaskan dendam sahabatnya, dan lalu dia berkata,
Segara saja aku mungkin akan mati, setelah melakukan pembalasan pada yang jahat, maka mungkin aku tidak mungkin berada di sini, mencemooh di samping kapal yang melengkung, sebuah beban untuk bumi.
Hanson dan Heath memperkirakan bahwa penolakan Plato terhadap tradisi Homeros tidak banyak diterima oleh kalangan akar rumput Yunani Kuno.[70] Mito-mitos lama dijaga untuk tetap hidup dalam kultus-kultus lokal dan terus berpengaruh terhadap tembikar serta tetap menjadi tema utama dalam seni lukisan dan seni patung.[71]
Lebih sportif lagi, penulis drama tragedi abad ke-5 Euripides seringkali bermain-main dengan tradisi lama, mengejek tradisi-tradisi itu, dan melalui suara-suara karakternya dia menyisipkan sedikit keraguan kepada para penontonnya. Meskipun begitu, tetap saja, tema-tema dramanya diambil, tanpa kecuali, dari mitologi Yunani. Banyak dari dramanya ditulis sebagai jawaban untuk versi yang kebih kuno dari mitos yang sama atau mirip. Euripides terutama meragukan mitos tentang para dewa dan mulai mengkiritik dengan keberatan-keberatan yang sebelumnya telah diungkapkan oleh Xenokrates, yaitu bahwa para dewa, seperti diperlihatkan dalam tradisi kuno, secara kasar terlalu antropomorfis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar